Selamat pagi, Ayah. Apa kabar? Ayah sehat kan? Maaf ya aku
mengganggu waktu bekerja Ayah, padahal ini hari Senin. Ayah pasti sedang sibuk,
ya? Aku cuma ingin berbagi cerita pada Ayah, sekali-kali boleh kan, Yah? Setiap
hari aku cuma main bersama Ibu. Ibu sering menceritakan banyak hal padaku. Kebanyakan
sih tentang Ayah, yang cuma bisa kukenal lewat cerita-cerita Ibu. Aku juga
ingin lebih mengenal Ayah, itulah mengapa aku menulis surat ini. Semoga Ayah
tidak bosan membacanya, ya.
Ayah...
Asal Ayah tahu, aku dan Ibu selalu menghabiskan waktu berdua.
Tidak pernah sedetikpun Ibu meninggalkanku. Aku selalu ada di dekat Ibu saat
Ibu berdoa pada Tuhan. Berlarian di sekitar dapur ketika Ibu memasak ayam
goreng kesukaanku. Aku juga selalu menempel pada Ibu saat Ayah menelepon,
mendengarkan suara Ayah yang belum pernah kutemui. Aku suka mendengar suara
Ayah. Tapi maaf ya, Yah, aku tidak pernah bisa ikut berbicara pada Ayah.
Yah...tidak tahukah Ayah betapa Ibu merindukan Ayah? Kurasa
Ibu sangat ingin bertemu Ayah. Tidak tahukah Ayah, di setiap telepon Ayah, Ibu
selalu menyimak segala yang Ayah kisahkan. Mendengarkan dengan seksama
seakan-akan Ayah berbicara di hadapan Ibu. Tidak tahukah, bahwa Ibu selalu
menyusupkan senyum, yang tak pernah Ayah lihat.
Sambil memelukku...
Ayah yang kusayang...
Aku mungkin belum memahami mengapa Ayah tidak kunjung
bertemu Ibu. Mengapa hanya ada aku dan Ibu di sini. Tanpa Ayah. Tapi yang aku
mengerti, Ibu selalu menyayangi Ayah. Menyebut nama Ayah dalam setiap doanya di
tiap-tiap malam. Bahkan ada saat-saat dimana Ibu menahan tangis karena
keinginan bertemu Ayah yang kadang tidak Ibu sampaikan. Apa Ayah tidak ingin
bertemu Ibu?
Ibu bilang, Ayah suka puisi. Pernah pada beberapa malam aku
mendapati Ibu menuliskan sesuatu di bukunya. Katanya itu puisi buat Ayah. Aku
tidak begitu mengerti isi puisi Ibu, yang aku tahu puisi-puisi Ibu adalah
sebentuk cinta untuk Ayah. Dan Ayah selalu suka puisi-puisi yang ditulis Ibu,
kan? Kata Ibu, Ayah mungkin tidak akan menyukai Ibu kalau saja Ibu tidak bisa
menulis. Jadi mulai sekarang aku akan belajar menulis puisi seperti Ibu, untuk
kemudian kukirimkan kepada Ayah.
Aku juga ingin jadi anak yang disukai Ayah.
Ayah...
Ibu sempat bilang padaku, Ibu takut kehilangan Ayah. Takut
Ayah selingkuh. Memangnya selingkuh itu apa sih, Yah? Kata Ibu, selingkuh itu
berarti Ayah jalan-jalan bersama seorang Tante yang tidak kukenal dan berbohong
pada Ibu. Begitukah, Yah? Ehm...kalau begitu, jangan berbohong pada Ibu ya,
Ayah. Jangan selingkuh. Nanti kita jalan-jalan bertiga saja, aku, Ayah dan Ibu.
Kata Ibu, saat ini Ayah ada di tempat yang jauh dari kami.
Di tempat Ayah sana, banyak Tante cantik yang mungkin selalu mengajak Ayah
bermain. Seperti Ibu mengajakku bermain. Ibu takut, Yah. Takut kalau Ayah akan
melupakan Ibu dan aku. Tante yang di sana kan lebih cantik dari Ibu. Apa iya,
Yah? Padahal menurutku Ibu sudah cantik, meskipun dengan celemek masaknya yang
agak kotor terkena cipratan minyak. Tapi Ibu bisa membuat masakan yang
enak-enak. Memang Tante yang di sana bisa memasak seperti Ibu?
Ayah yang kurindukan...
Aku ingin sekali mengobrol dengan Ayah. Ingin mendengar
cerita Ayah tentang Ibu. Apakah cinta Ayah pada Ibu seperti cinta Ibu pada
Ayah? Soalnya, di setiap telepon Ayah pada Ibu yang selalu ku curi dengar, Ayah
tidak pernah bilang bahwa Ayah menyayangi Ibu, atau merindukan Ibu. Pernah sih
aku mendengar kata rindu dari Ayah untuk Ibu, tapi rasanya sudah lama.
Akhir-akhir ini sepertinya sudah tidak pernah lagi. Padahal aku sering melihat
Ibu mendoakan Ayah. Itu tandanya Ibu mencintai Ayah, kan? Ibu selalu berbicara
pada Tuhan, meminta agar Tuhan menjaga Ayah supaya Ayah bisa segera bertemu
denganku.
Ayah...
Sebenarnya semalam, tanpa sepengetahuan Ibu, aku mengintip
buku Ibu. Di lembar terakhirnya, aku membaca sebait tulisan Ibu, sepertinya
bukan puisi, tapi aku ingin Ayah juga ikut membacanya. Dalam tulisannya Ibu
berkata,
"Kepada kamu, pria yang kucintai...
Aku mulai takut kamu tidak sungguh-sungguh bahagia
bersamaku. Aku mulai takut rindu itu semakin terkikis karena pertemuan kita
yang tidak kunjung terlunasi."
Ibu takut ya, Yah? Takut Ayah tidak bahagia, memangnya
begitu?
Ayah... ada bekas tetesan air mata di buku Ibu. Mungkin Ibu
sedih, Yah. Ibu sangat merindukan Ayah sepertinya. Aku juga.
Saat aku mundur satu halaman kebelakang, aku menemukan
tulisan Ibu lagi, yang kurasa harus Ayah baca.
"Pria yang kurindu...
Jika kamu menemukan wanita lain di sana yang bisa menawan
hatimu lebih dari padaku. Tak apa. Jangan merasa bersalah karena (mungkin) kamu
akan membohongiku. Sungguh aku tak apa. Jangan melarang dirimu untuk tidak
bersama wanita lain yang candunya lebih memikat dari padaku. Kalaupun wanita
seperti itu muncul dihadapanmu, sambut saja dia.
Dan jika kamu memang tak ingin bersamanya, aku harap bukan
karena (bagimu) aku terlalu baik. Tapi karena kamu mencintaiku. Bukan karena
alasan lain."
Ayah...
Aku mulai menemukan banyak pertanyaan berputar di kepalaku.
Apa Ayah tidak bahagia bersama Ibu? Apa tidak cukup bagi Ayah memiliki Ibu yang
begitu menyayangi Ayah. Mencintai Ayah. Tidakkah Ayah merindukan Ibu seperti
Ibu rindu Ayah? Tidakkah Ayah menyanyangi Ibu seperti Ibu yang selalu
menyayangi Ayah. Ayah suka puisi-puisi Ibu kan? Kalau saja Ibu tidak bisa
menulis, apakah dulu Ayah akan menyukai Ibu? Bagaimana jika Ibu berhenti
menulis sekarang? Apa Ayah akan memilih untuk tidak bersama Ibu lagi? Jika Ibu
tidak menjadi wanita yang baik pada Ayah, apa Ayah akan bersama Tante yang ada
di sana? Yang lebih cantik dari Ibu.
Maaf ya Ayah..
Aku mulai bawel, menanyakan hal yang mungkin tidak akan Ayah
berikan jawabannya untukku. Aku hanya tidak ingin melihat Ibu bersedih. Aku
tidak mau melihat Ibu menangis karena takut kehilangan Ayah.
Ayah...
Boleh aku meminta sesuatu? Kali ini aku tidak akan meminta
Hot Wheels, kok. Aku juga tidak meminta Jersey. Aku cuma minta, maukah Ayah
menelpon Ibu? Sekarang. Katakan Bahwa Ayah menyayangi Ibu. Merindukan Ibu.
Bahwa Ayah bahagia bersama Ibu, meskipun belum waktunya untuk Ayah dan Ibu
bertemu. Katakan bahwa Ibu tidak perlu takut akan apapun. Yakinkan saja Ibu,
bahwa hati Ayah selalu Ayah titipkan pada Ibu. Bahwa Ayah juga ingin segera
bertemu denganku. Jagoan Ayah. Juga calon puteri kesayangan Ayah, calon Adikku.
Aku rasa itu akan membuat Ibu lebih tenang.
Aku tidak tahu apakah Ayah akan mengabulkan permintaanku
atau tidak. Aku akan berdoa pada Tuhan saja, semoga Tuhan menyampaikan pada
Ayah agar Ayah meluluskan permintaanku.
Oh ya, Ayah. Jangan bilang pada Ibu aku menulis surat ini
untuk Ayah, ya. Nanti Ibu mengomel padaku, seharusnya kan ini jam untukku
belajar. Nanti jika aku sudah bisa menulis puisi seperti Ibu, aku akan
mengirimkannya pada Ayah, tunggu saja ya, Yah.
Peluk cium
yang akan selalu mencintaimu