Sedikit Sejarah dari Syeikh Nurruddin Ar-Raniry Inpsirasi
Kisah Ulama Klasik Aceh Tonggak Berdirinya Pembangunan Aqidah
Nama lengkapnya,
Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary
Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di
Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar
pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya
berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M).
Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan
Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya
adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy).
Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang
yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi
Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).
Daerah asal
Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir
sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas
bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga
berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian
berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan
Hindia untuk keperluan yang sama.
Jadilah orang
Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat
yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada
keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b.
Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang
sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq,
dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota
pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri
Al-Raniri
sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah
kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang
ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah
Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah
menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.
Dalam
kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin
hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual
Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan
intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya,
Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh
Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan
Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim,
atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba
Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun,
seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b.
Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban
pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan
tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian,
Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan
Qodiriyyah Maqassari: tt).
Setelah
beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah
anak benua India, Al-Raniri mulai
merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la
datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga
kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya
memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi
pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia
Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M).
Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad
Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).
Tidak hanya
itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada
dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya
dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka
sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim,
misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap
di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku
tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh
(1637-1644 M).
Dua keraguan
inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh,
tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari
pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke
daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh
ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai
mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham
wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran
Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan
Setelah Syeikh
Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam
beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan
Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada
Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan
Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan
seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham
yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams
Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima
permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang
tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.
Kedekatan
Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam
satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis
persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham
tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama
istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga
boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat
menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam
banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.
Dalam berdebat,
dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan
kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan
yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak
memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap
bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan,
mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah,
maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid
Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah
tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali
ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri
sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia
perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut.
Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di
kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya,
Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada
ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana
menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang
pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu
dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat,
perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri
termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.
Kedua,
berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan,
bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan
ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus
berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai
doktrin "sesat" karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya,
Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal
menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.
Nampaknya,
alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri
tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin
Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan
karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski
demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong
salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam
Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis,
pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam
Indonesia.
Banyak perkara
menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu yang
pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian
juga mengenai kitab hadis yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits
an-Nabawiyah atau judul lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib,
adalah kitab membicarkan hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu.
Hampir semua
penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir,
berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy
yang berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali
atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id
Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli
al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri
negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya."
Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat
kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan
berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir,
kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke
Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar
kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama
ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah
Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut
adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah,
Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.
Kedatangan
Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun
1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada
tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda
(memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri
seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat
Aceh. Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang,
sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh
Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran
model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua
ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan
Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.
Oleh sebab
ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai
berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat
menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh
Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana
beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam
bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah,
Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga
ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin
ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada
Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya
dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal
berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang
tasawuf beliau menghentam habis-habisan
Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Walau bagaimanapun Syeikh
Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin
ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein
al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar
daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi
sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh
Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i selalu ditafsirkan secara
salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala
al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati
syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua."
Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatra-i itu pegangannya tidak ubah dengan al-Hallaj.
Ajaran Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i berpunca daripada ajaran
Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim
al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam
al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar,
sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah
berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari hujung rambut hingga ke
hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum
pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan yang spontan
terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani menyalah-nyalahkan
pegangan mereka. Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah,
yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat. Mereka
beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang
ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf
yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir
belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak
sampai kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru
mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum mempunyai ilmu kalbi,
yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela
guru mereka yang mereka sanjung tinggi itu.
Selama menetap
di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang berasal
dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, namun
sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama
murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya
di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul
Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak
begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh
Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang
menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain
menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada
Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul
Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri.
Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
No comments:
Post a Comment